Korupsi, tetap dan masih menjadi masalah tak terselasaikan di negara ini. Hampir di setiap rezim kepemimpinan negara ini, korupsi selalu menjadi berita hangat penghias media. Bahkan, dalam sejarah negara ini, korupsi mengharuskan sebuah rezim tumbang, sebagaimana yang sekarang terjadi pada negara-negara Timur Tengah.
Namun, jika kita amati sedikit mendalam, korupsi di negara mengalami sedikit perubahan, baik dari sisi pelaku maupun motif. Dulu, saat rezim orde baru masih berkuasa, korupsi mayoritas dilakukan oleh orang-orang tua, seperti Edi Tanzil yang terlibat kasus Bapindo, atau Bob Hasan yang terlibat kasus BPH dan dana reboisasi. Sementara, saat rezim reformasi digulirkan, kasus korupsi mulai dilakukan oleh berbagai golongan, mulai dari golongan tua sampai golongan muda.
Jika korupsi itu dilakukan oleh golongan tua, mungkin kita tidak begitu heran karena polanya masih sama dengan pola rezim orba. Artinya, bisa saja kita mengatakan bahwa ini adalah warisan rezim lama yang memang korup. Kita pun bisa lebih optimis akan bersihnya negeri ini dengan asumsi bahwa jika golongan tua sudah diganti dengan golongan muda, maka korupsi bisa diberantas. Namun, apalah daya. Saat ini golongan muda pun mulai terlibat dalam kasus yang sama. Para PNS muda yang usianya rata-rata masih dibawah 35 tahun, seperti Gayus Tambunan, Nazaruddin, atau beberapa PNS muda yang baru beberapa hari lalu temuannya dirilis oleh PPATK, ramai-ramai melakukan korupsi. Sangat mencengangkan!
Saya katakan mencegangkan karena merekalah yang pada tahun 1998 menjadi aktor dalam tergulingnya rezim Soeharto dengan isu KKN. Artinya, pada saat itu mereka menjadikan korupsi sebagai sebuah isu untuk menggulingkan pemerintahan. Yang artinya lagi mereka tidak menginginkan adanya korupsi di negara ini. Lalu kenapa sekarang mereka melakukannya sendiri?
Metamorfosis yang kedua terjadi pada motif dan pola korupsi yang dilakukan. Dulu, korupsi lebih banyak dilakukan murni untuk memperkaya diri sendiri. Kita hampir tidak pernah mendengar bahwa korupsi seorang pelaku dilakukan untuk mendanai kerja partai. Maklumlah, di era orba, kepartaian di negara ini hanya dikuasai oleh satu partai yang memang sudah kaya raya, sementara dua yang lainnya hanya sebagai pecundang. Namun, saat ini, pada beberapa kasus korupsi kita mendengar bahwa korupsi itu dilakukan untuk mendanai kerja partai, seperti pada kasus Nazaruddin, meski belum terbukti secara hukum.
Rasanya, jika seperti ini, harapan untuk melihat negeri ini bersih dari korupsi masih terlalu jauh. Memang, negara telah membentuk badan khusus pemberantasan korupsi. LSM pemerhati korupsi pun banyak kita temukan. Namun, metamorfosis yang selalu terjadi seolah mengatakan bahwa korupsi di negeri ini akan terus berkembangbiak laksana katak di musim hujan. Kita tinggal melihat, akan seperti apa lagi rupa korupsi dimasa yang akan datang.
Sumber : mutiarabirusamudra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar