Berkemeja putih sedikit lusuh dilengkapi selendang,sarung, dan ikat kepala khas Nusa Tenggara Timur,Soleman Ngongo tiba di Istana Negara kemarin.Tidak seperti ratusan kepala daerah atau undangan lain yang datang dengan keluarga atau rekan kerja,Soleman datang sendiri.
Sepintas tidak ada sesuatu yang aneh.Namun,ada yang berbeda dari pria asal Desa Tema Tana,Kecamatan Wewena Timur,Kabupaten Sumba Barat Daya,Nusa Tenggara Timur itu.Soleman tidak mengenakan alas kaki ketika masuk ke ruangan untuk menerima penghargaan Kalpataru. Kakinya dibiarkan telanjang.
Kendati begitu,tidak ada sedikit pun rasa minder atau malu terpancar dari wajahnya. Pun ketika harus maju dan berhadapan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY),dia melangkah tanpa canggung. “Saya tadi pakai sandal, tapi ditinggalkan di luar. Takut kotor (mengotori Istana Negara).
Lagipula tidak apaapa saya begini,sudah biasa. Saya tidak pernah bekerja dengan tujuan untuk bertemu Presiden,”ucapnya seusai menerima penghargaan. ”Kalaupun dapat bertemu hari ini,saya syukuri sebagai anugerah dari Tuhan,” sambung Soleman dengan mata berbinar. Soleman merupakan salah satu penerima penghargaan Kalpataru kategori pengabdi lingkungan.
Sebuah penghargaan yang melambangkan pengabdian tulus dan panjang kepada lingkungan. Saat memutuskan untuk menjaga pintu-pintu air di kampung halamannya di Desa Tema Tana sekitar 40 tahun silam,Soleman tidak pernah membayangkan bahwa keputusannya itu akan mengubah jalan hidupnya.“Dulu saya mulai bekerja sejak zaman Pak Harto,tahun 1980-an.
Awalnya tanpa dibayar,lalu setelah beberapa bulan,baru dibayar Rp500 per bulan,” tutur Soleman penuh semangat menceritakan awal perjuangannya. Bukan hal yang mudah bagi Soleman menjalani pekerjaan itu.Pasalnya,nyaris tidak ada seorang pun yang bersedia berbagi beban melakoni pekerjaan itu.Alhasil, pria bertubuh kurus tersebut harus merelakan diri menjaga ratusan pintu air sendirian.
Padahal,dari satu pintu air ke pintu air lainnya,dia harus berjalan kaki yang tidak jarang harus menembus hutan. Tugas Soleman kian berat saat musim penghujan tiba. Di saat orang lain bisa berkumpul dengan keluarganya kala air tumpah dari langit,Soleman justru harus berjaga-jaga di pintu air agar banjir tidak datang.
Saat ini saja,Soleman bertanggung jawab menjaga 240 pintu air primer,140 sekunder,dan 160 pintu air tersier. Perjuangan Soleman tidak berhenti sampai di situ.Demi melihat hutan di sekitar lingkungannya yang semakin gundul, dia mengumpulkan rekanrekannya guna diajak bergotong- royong menanam pohon. Hebatnya,tidak ingin bergantung pada bantuan pemerintah, dia dan rekan-rekannya mengeluarkan dana sendiri untuk reboisasi itu.
“Sebelumnya kita tanam pakai anggaran sendiri,5–6 orang.Waktu itu Rp2.000 hingga Rp50.000 per orang setahun.Tanam pohon kemudian melibatkan masyarakat di sekitar sumber mata air, makanya (terkumpul) sampai Rp20 juta,”cerita Soleman. Perjuangan tanpa pamrih itu berbuah manis.Hingga kini,setidaknya ada 2 juta batang pohon yang ditanam di tanah adat dan tanah milik.
Penghijauan itu memperbaiki ekonomi masyarakat dari produksi sawah seluas 2.347 hektare. Kerja keras Soleman ini menjadi buah bibir dan perhatian banyak orang,tidak terkecuali Kementerian Lingkungan Hidup. Kementerian pun mengganjar penghargaan Kalpataru. Karena datang sendiri,saat keluar dari Istana Negara,dia terlihat bersusah payah membawa penghargaan Kalpataru.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar