Jakarta Ambles dan Akan Klelep

Musim hujan datang. Tidak hanya banjir mengancam Jakarta, tapi tanah ambles juga mengancam. Secara perlahan tapi pasti, Jakarta juga bakal tenggelam. Seram! Akhir-akhir ini makin banyak saja wilayah Jakarta yang ambles. Belum lama ini, Jalan Pluit Indah Raya, tepat di depan Mega Mall Pluit, Jakarta Utara, ambles. Amblesan yang terjadi pada September 2011 itu membentuk lubang berdiameter sekitar 1 meter lebih dengan kedalaman hampir 2 meter.


Sebelumnya, akhir Juli 2011 tanah di kawasan Kelurahan Rawajati, Kecamatan Pancoran, Jakarta Selatan juga ambles. Akibatnya, 21 rumah penduduk di RW 4 Kelurahan Rawajati rusak berat. Bahkan, pagar pembatas antara warga dan Apartamen Kalibata City setinggi dua meter juga ikut ambles. Tahun sebelumnya,16 September 2010 pukul 03.15 WIB, Jalan Raya RE Martadinata yang menghubungkan Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara menuju arah Kota pun amblas. Jalan yang bertepatan dengan sungai itu amblas sedalam 7 meter dengan panjang patahan sekitar 103 meter. Penyebab amblasnya tanah di jalan itu diperkirakan akibat pengikisan air laut.

Pada 2008, sejumlah bangunan di Jakarta juga mulai ambles. Sebut saja gedung Sarinah dan gedung Badan Pengkajian dan Penyerapan Teknologi (BPPT) di Jalan MH Thamrin. Kawasan MH Thamrin-Sudirman memang termasuk wilayah yang diperkirakan Walhi DKI Jakarta akan ambles. Selain itu kawasan rawan lainnya adalah segitiga Kuningan dan Sudirman Central Bussines District (SCBD).

Amblesnya tanah di sekitar MH Thamrin ini diakibatkan meningkatnya intensitas pembangunan properti di kawasan bisnis itu sejak 2007. Bangunan miring atau retak di Jakarta disebabkan struktur tanah tidak terkonsolidasi sehingga terdapat rongga. "Ini akibat sirkulasi air tanah tidak seimbang, lebih besar air tanah yang disedot ketimbang air hujan yang terserap ke dalam tanah,” kata Direktur Eksekutif Walhi DKI Jakarta Ubaidillah.

Sejauh ini sejumlah lembaga terkait belum memiliki data yang sama berapa persisnya angka amblesan tanah di Jakarta. Namun yang jelas setiap tahun data amblesan makin mencemaskan karena terus meningkat.

Walhi Jakarta menyebutkan rata-rata amblesan tanah mencapai 10 cm per tahun. Dari semua wilayah yang ada, titik terbanyak rawan genangan dan penurunan tanah berada di wilayah Jakarta Utara sebanyak 26 lokasi. Data Walhi DKI Jakarta, penurunan muka tanah (land subsidence) dari periode 1982-1997 mencapai 20 cm dalam waktu 15 tahun. Periode 1997-2007 mencapai 18-26 cm dalam waktu 10 tahun.

Sedangkan data Konsorsium Jakarta Coastal Defence Strategy (JCDS) menyebut pada periode 1974-1990 land subsidence di wilayah utara Jakarta sekitar 3-5 cm per tahun. Beberapa studi dan pengamatan belakangan menunjukkan angka yang lebih besar. Di Jakarta Utara diindikasikan terjadi land subsidence sekitar 5-10 cm per tahun.

Dalam kurun waktu 1974-2010 telah terjadi penurunan permukaan tanah di wilayah Jakarta hingga 4,1 meter. Ini khususnya terjadi di wilayah Muara Baru, Cilincing, Jakarta Utara. Penurunan serupa juga terjadi di sejumlah wilayah lain, seperti di Cengkareng Barat setinggi 2,5 meter, Daan Mogot 1,97 meter, Ancol 1,88 meter (titik pantau di area wisata Ancol), Cempaka Mas 1,5 meter, Cikini 0,80 meter, dan Cibubur 0,25 meter.

JCDS juga menyebutkan ada 7 jembatan ambles, yakni jembatan Kamal Muara, Mangga Dua, Ancol, Pluit, Pantai Mutiara, Gunung Sahari dan Mangga Besar. "Sering perbedaan tersebut disebabkan, karena perbedaan metode pengamatan, Bench Mark (BM) yang diacu dan karakter dari titik yang diamati seperti apakah karena baru ditimbun atau merupakan jalan raya dan sebagainya," terang Sawarendro, konsultan dari Belanda yang menjadi anggota JCDS.

Ketua Umum Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Lambok M Hutasoit membenarkan adanya amblesan tanah di Jakarta yang bisa mencapai belasan cm per tahunnya. Hanya saja, menurutnya, kasus amblesnya Jalan RE Martadinta di Jakarta Utara tidak secara otomatis disebut sebagai amblesan tanah.

"Karena kejadiannya cepat, tidak seperti land subsidence yang cukup lambat. Amblesnya jalan itu kemungkinan diakibatkan oleh faktor lain seperti erosi sungai atau erosi gelombang laut," terang Lektor Kepala Bidang Hidrogeologi Institut Teknologi Bandung (ITB). Diakui Lambok, sampai saat ini IAG belum memiliki data yang bisa diverifikasi menyangkut amblesan tanah di Jakarta. "Kita belum memperivikasi data soal ini. Hanya saja, berdasarkan pengukuran ahli geodesi, land subsidence terbesar terjadi di daerah utara Jakarta, yaitu di sekitar Cengkareng, Kemayoran, dan Kelapa Gading, dengan amblesan maksimum telah mencapai 2 meter," kata Lambok.

Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional (Bakorsutanal) juga mengakui adanya penurunan permukaan tanah di Jakarta. Adanya data tinggi yang didapatkan dari pengamatan sifat datar teliti dan GPS yang dilakukan selama penelitian, menunjukkan turunnya permukaan tanah di satu wilayah bervariasi secara spasial dan temporal.

Dari data 1982-1991 penurunan permukaan tanah terbesar terjadi di lokasi Cengkareng dengan laju penurunan 8,5 cm per tahun. Pada 1991- 1997 terjadi di Kwitang dengan laju penurunan 14,8 cm per tahun, 1997-1999 terjadi di Daan Mogot dengan laju penurunan 31,9 cm per tahun.

Dari data tinggi hasil pengamatan GPS Desember 1997- Juni 1999, penurunan terbesar terjadi di Pantai Indah Kapuk dengan laju penurunan 11,5 cm per tahun. Juni 1999-Juni 2000, masih di Pantai Indah Kapuk dengan laju penurunan 10,4 cm per tahun. Juni 2000-Juni 2001 terjadi di Daan Mogot dengan laju penurunan 34,2 cm per tahun, Juni 2001-Oktober 2001 terjadi di Rukindo-Ancol dengan laju penurunan 23,7 cm per tahun.

Amblesan tanah itu bila tidak ditangani serius bakal membuat Jakarta tenggelam. Direktur Eksekutif Indonesia Water Institute Firdaus Ali memprediksi Jakarta akan tenggelam dalam waktu dekat ini, yakni pada 2012. "Kota ini akan kelelep atau bahasa teknisnya tenggelam menjelang 2012," kata Firdaus.


Sumber : Detik

Tidak ada komentar: