Direktur Eksekutif Lingkar Madani untuk Indonesia (Lima) Ray Rangkuti mengatakan, seyogianya Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak bersikap diskriminatif dengan hanya memerintahkan mencari politisi Demokrat, Muhammad Nazaruddin.
Merujuk pada temuan Indonesia Corruption Watch (ICW) mengenai sejumlah nama yang kabur ke luar negeri sejak tahun 2001, Ray menyatakan, harusnya Presiden juga mengerahkan pencarian para koruptor itu. ICW mencatat, sejak 2001 ada 45 orang yang melarikan diri ke luar negeri, termasuk Nazaruddin, karena tersangkut kasus korupsi di Indonesia. Kebanyakan dari mereka lari ke Singapura. Sementara itu, seperti diberitakan, Presiden terkait Nazaruddin memerintahkan kepolisian dan KPK menangkap politisi Partai Demokrat tersebut.
"Perintah itu (perintah Presiden Yudhoyono untuk menangkap Nazaruddin) terasa agak minimalis dan sedikit diskriminatif. Entah kenapa SBY hanya meminta Nazaruddin yang dijemput paksa, sementara tidak menyebut nama-nama pelaku lain dengan tindakan kejahatan yang sama dan kini bermukim di luar negeri. Mereka kini hidup tenang di luar negeri. SBY hanya menyebut nama Nazaruddin dan seolah melupakan pelaku kejahatan yang sama dan kini sebagian besar menetap di Singapura," ujar Ray, Senin (4/7/2011).
Ia mengimbau pemerintah berlaku adil. Tanpa membela Nazaruddin atau Nunun Nurbaeti, menurut Ray, harusnya ada perlakuan yang sama dari penegak hukum untuk mencari koruptor yang beberapa di antaranya telah divonis in absentia.
"Tentu saja perlakuan Presiden yang seolah melupakan tersangka lain seperti memberi angin bagi mereka (koruptor yang kabur) bahwa kenyataannya republik ini telah melupakan kejahatan-kejahatan yang mereka lakukan. Kami mengimbau semua aparat penegak hukum, dan tentu saja dengan perintah Presiden, agar mempergunakan seluruh kekuatan untuk mengejar para koruptor yang hidup bebas di luar negeri," tuturnya.
Sementara itu, aktivis ICW, Tama S Langkun, mengatakan bahwa untuk memulangkan para koruptor yang kebanyakan diketahui lari ke Singapura, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa bekerja sama dengan lembaga anti-korupsi Singapura, Corrupt Practices Investigation Bureau (CPIB).
Selain itu, Pemerintah Indonesia sudah selayaknya melakukan pembekuan kekayaan para koruptor tersebut. Pembekuan tersebut bisa dilakukan dengan menggandeng Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).
"SBY bisa perintahkan Polri untuk support KPK. Sekurang-kurangnya bisa melakukaan koordinasi dengan dengan penegak hukum di negara lain. KPK bisa kerja sama dengan CPIB. Selain itu, optimalkan bantuan PPATK untuk melakukan penelusuran aset yang bersumber dari uang haram, dan lakukan pembekuan aset. Penyitaan atau pembekuan aset ini untuk memperkecil ruang gerak yang bersangkutan," tandas Tama.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar