Gangguan Bicara Bisa Diprediksi dari Tangisan Waktu Bayi

Keterlambatan dalam mengembangkan kemampuan berbicara pada anak-anak bisa diprediksi sejak umur 2 bulan, ketika bayi baru bisa menangis. Jika di usia tersebut tangisannya terlalu 'sederhana', kelak cenderung lebih sulit belajar bicara.
img


Saat baru lahir, semua bayi umumnya menangis dengan melodi yang sangat sederhana yakni sekali naik kemudian turun perlahan atau jika digambar grafiknya akan membentuk sebuah busur. Seiring bertambahnya usia, suara tangisan akan semakin kompleks.

Suara tangisan biasanya mulai kelihatan lebih kompleks ketika bayi memasuki umur 2 bulan. Pada usia ini, suaranya tidak hanya sekali naik kemudian turun lagi tetapi mulai ada variasi-variasi misalnya tiba-tiba berhenti kemudian menangis lagi.

Sebuah penelitian di Jerman mengungkap, kompleksitas suara tangis bayi pada usia 2 bulan bisa memprediksi perkembangan kemampuan bicara atau berbahasa. Makin sederhana suara tangisannya, makin besar risikonya mengalami gangguan pengucapan suku kata.

Hal ini dibuktikan setelah para peneliti membandingkan suara tangisan pada 11 bayi yang mengalami bibir sumbing, 10 bayi dengan kelainan pada langi-langit mulut dan 50 bayi dengan kondisi bibir dan mulut yang normal. Bayi-bayi itu diamati hingga usia 2 tahun.

Menurut para peneliti, kompleksitas suara tangisan bayi yang normal seharusnya sudah mencapai 50 persen pada usia 2 bulan. Dikutip dari HealthDay, Minggu (22/5/2011), bayi dengan tangisan seperti ini jarang mengalami keterlambatan bicara dalam perkembangannya kelak.

Namun jika kompleksitasnya di usia 2 bulan hanya berada di bawah 45 persen, bayi tersebut 5 kali lebih berisiko mengalami keterlambatan bicara ketika berusia 2 tahun. Artinya semakin sederhana suara tangisannya, makin besar kemungkinan mengalami gangguan bicara.

Dalam penelitian ini, bayi dengan kelainan pada langit-langit mulut serta bibir sumbing dilibatkan karena lebih rentan mengalami keterlambatan dalam belajar bicara. Dengan temuan ini, diharapkan gangguan semacam ini bisa dideteksi lebih dini.

Hasil penelitian ini dipublikasikan dalam The Cleft Palate-Craniofacial Journal edisi bulan Mei 2011.

Tidak ada komentar: